mirandapos.com, Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal jakarta yang konsen di bidang advokasi kebijakan publik menyikapi Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar serta berisi aturan-aturan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang tersebut, serta menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana penjatuhan pidana tersebut dapat dilaksanakan.
Mengutip pendapat Pompe yang menyatakan bahwa tidak ada pidana yang diterapkan, kecuali terdapat suatu kelakuan yang melawan hukum dan adanya kesalahan yang dapat dicela.
Teori ini diformulasikan sebagai asas Geen Straf Zonder Schuld.
1. Asas ini menjadi dasar teori pertanggungjawaban pidana dan tidak ditemukan dalam undang-undang.
2. Ketika kita berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, kita berbicara tentang orang-orang yang,-
melakukan kegiatan kriminal.
Jika seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak jelas apakah ia dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga ia tidak serta merta harus dipidana.
Di pihak lain, seseorang yang dihukum karena suatu kejahatan pasti melakukan tindak pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan di Indonesia berangkat dari pemikiran Moeljatno mengenai tindak pidana (strafbaar feit), yang memisahkan antara “pengertian perbuatan pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”, yaitu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung-jawaban pidana.
Pandangan ini dikenal sebagai pandangan dualistis mengenai perbuatan pidana.
1. Pandangan ini adalah penyimpangan dari pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Artinya tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana, dan sejak pemikiran dualistis Moeljatno mengenai tindak pidana tersebutlah kajian mengenai kemampuan dan ketidakmampuan bertanggungjawab menjadi objek yang seksi untuk dibahas oleh pemikir hukum Indonesia.
Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu keadaan yang merujuk pada tiga kemampuan.
1. Kemampuan yang pertama ialah bahwa si pelaku menyadari perbuatan dan akibatnya.
2. Kemampuan pelaku tersebut menyadari bahwa apa yang ia perbuat melanggar ketertiban umum dan kemampuan terakhir adalah ketika pelaku melakukan perbuatan tersebut ia berada dalam kebebasan kehendak.
3. Ketiga keterampilan ini bersifat kumulatif. Artinya, seseorang dianggap tidak bertanggung jawab jika hanya satu keterampilan yang bertanggung jawab tidak terpenuhi.
Jika seseorang melakukan tindak pidana, orang tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana dan pada akhirnya dapat dipidana.
Didalam hukum pidana seseorang yang telah melakukan kejahatan pasti akan mendapatkan sanksi atau hukuman.Namun ada alasan mengapa hal itu dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam persidangan ini agar tidak dipidana karena melakukan tindak pidana atau tindak pidana.
* Alasan-alasan inilah yang kemudian disebut sebagai alasan penghapusan pidana.
Korupsi merupakan masalah terbesar yang dihadapi negara Indonesia, maka pelaksanaan hak-hak negara pemilik tanah menimbulkan masalah, terutama tanah negara dan masalah terkait pertanahan lainnya yang juga mempengaruhi tindak pidana korupsi.
Dan bahkan sinyalemen bahwa kejahatan korupsi di Indonesia sudah melebihi kapasitas kemampuan penegak hukum untuk menanganinya. Masalah pengelolaan dan penggunaan lahan muncul karena ketidakakuratan peta atau database Indonesia. Masalah tata guna lahan negara bagian/daerah dalam pemanfaatannya juga bermasalah.
* Persoalan ini muncul karena ketidaktepatan inventarisasi aset negara/daerah, khususnya tanah negara.
Korupsi masih menjadi masalah utama dalam mewujudkan tujuan bernegara. Hampir semua ranah kehidupan, tidak bisa terhindar dari jeratan korupsi.
Pemberantasan korupsi telah lama dilakukan dengan berbagai cara, dengan semakin meningkatnya sanksi terhadap,-
pelaku korupsi, namun jenis korupsi yang semakin canggih.
Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan atau memperkaya diri sendiri maupun orang lain.
Namun, indikator perbaikan pelayanan/birokrasi terkait korupsi mengalami stagnasi.
Di sektor agraria, praktik korupsi tidak bisa terhindarkan.
1. Permasalahan agraria yang semula menghadapkan masyarakat setempat dengan kekuatan modal (korporat) dan atau instrumen negara.
2. Permasalahan lahan umumnya muncul adanya kebijakan monopoli kepemilikan lahan oleh negara.
3. Selanjutnya negara mengkomersialisasikan lahan tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
Hal tersebut menjadi sulit dikontrol ketika aparat penegak hukum, birokrat, dan swasta serta indikasi adanya mafia tanah turut terlibat dalam perbuatan tercela yang berpotensi merugikan kerugian/perekonomian negara.
Kementerian Penataan Ruang (ATR) mencatat kasus yang dilaporkan sebagai mafia tanah di Indonesia sejak 2018, mencapai 242 kasus. Sampai saat ini, 242 perkara yang ditangani telah diserahkan kepada penuntut umum dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht vangewijsde).
Selain itu, ada penyelesaian perdata dan tanah akan dikembalikan kepada korban yang berhak.
Aksi mafia tanah tak jauh dari tawuran dan konflik.
1. Ciri-ciri Mafia Tanah biasanya sistematis dan terencana.
2. Selain itu, perbuatan mereka melanggar hukum dan dilakukan secara bersama-sama.
3. Kegiatan mafia tanah tidak sebatas pemalsuan administrasi.
Ada mafia tanah tingkat lanjut yang membuat perubahan spasial pada proyek infrastruktur.
Hak Negara Menguasai Tanah Konstitusi telah mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
Hak menguasai negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein), yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaterechtelijk, makna dari pemahaman tersebut adalah makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki wewenang sebagai pengatur perencana,pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas, pengelola, pengguanaan, dan pemanfaatan sumberdaya alam, nasional, sebagai konsekuensi arti pemanfaatan tersebut, maka negara memiliki kewajiban untuk :
1. Segala bentuk tata guna lahan dari air dan akibat (sumber daya alam) darinya harus dapat secara langsung meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin semua hak-hak manusia di atas bumi dan di dalam bumi, dan air yang diterima/dihasilkan atau dinikmati secara langsung oleh manusia.
3. Mencegah tindakan pihak-pihak yang mengakibatkan kemungkinan atau hilangnya hak di atas bumi dan air.
Orang diingkari Hak menguasai Negara menurut Husen Alting dan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi yakni memposisikan atau menempatkan Negara sebagai pengatur (regulator), merumuskan kebijakan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoutdendaad) untuk menjamin masyarakat dapat menikmati tanah demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Menurut Notonagoro hak menguasai negara harus harus berisikan hal-hal yakni :
1. Merupakan hakatas tanah paling tinggi, yang dipunyai oleh negara, tidak dapat berakhir dan tidak dapat dipindahkan.
2. Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Negara berhak menemukan macam-macam hakatas tanah yang dapat dipunyai oleh subjek hukum.
Sedangkan menurut Bagir Manan cakupan hak menguasai negara, yakni :
1. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara.
2. Mengatur modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.
Negara tidak memiliki hak milik pribadi atas tanah, dan negara hanya memiliki hak untuk mengelola tanah, tetapi untuk menetapkan ketertiban dan keteraturan pengelolaan dan penggunaan tanah, UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan-peraturan pokok agraria, yaitu tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dikuasai oleh negara dan apabila tanah itu tidak mempunyai hak dari pihak tertentu (orang perseorangan atau badan hukum), tanah tersebut disebut tanah ini dikelola langsung oleh negara.
Untuk memudahkan gambaran tentang negara yang dikuasai langsung oleh negara tersebut di bawah ini disebut sebagai negara negara.
Dalam hal tanah milik negara, hak-hak termasuk hak dapat diberikan atas hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Pemberian hak tersebut adalah kewenangan menteri yang dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.
1. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberi kemudahan dalam berusaha, terkait permasalahan agraria dianggap belum mampu menyelesaikan ketimpangan Ketimpangan dalam struktur kepemilikan tanah, pengelolaan dan pengembangan/pembebasan.
2. Bekas hak guna lahan (HGU), hak guna bangunan (HGB), tanah terlantar, dan tanah negara yang direformasi secara kelembagaan berada di bawah bank tanah.
Sebelumnya, banyak hubungan kepemilikan tanah yang tunduk pada reformasi tanah dalam bentuk restrukturisasi kepemilikan dan penggunaan tanah.
3. Padahal, reforma agraria mandat Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang sejalan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
Modus Kejahatan Mafia Tanah dalam Tindak Pidana Korupsi Istilah mafia tanah tidak ditemukan di Undang-undang Agraria dan UU Tindak Pidana Korupsi.
1. Istilah mafia tanah disebutkan pada Petunjuk Teknis Nomor :01/Juknis/D.VII/2018 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah, dijelaskan pengertian mafia tanah adalah “Individu, kelompok dan/atau badan hukum yang melakukan tindakan dengan sengaja untuk berbuat kejahatan yang dapat menimbulkan dan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penanganan kasus pertanahan”.
2. Mafia Tanah adalah dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk menduduki tanah orang lain.
Cara-cara berikut biasa digunakan oleh mafia tanah :
1. Pemalsuan dokumen (untuk hak), legalisasi di pengadilan.
2. Pendudukan yang sah/tidak adil (liar), rekayasa insiden, kolusi dengan oknum pejabat untuk mendapat legalitas, kejahatan dengan korporasi seperti penggelapan dan penipuan, perusakan hak atas tanah dan hilangnya warkah tanah.
Ada tiga alasan besar keberadaan mafia tanah :
1. Kurangnya pengawasan,
2. Kurangnya penegakan hukum.
3.Kurang transparansi.
Selain itu, tanah adalah investasi yang menguntungkan dan manfaat ekonomi tinggi. Juga keberadaan tanah yang selalu dibutuhkan masyarakat.
Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, yakni tanah di kawasan negara Republik Indonesia dikuasai oleh Negara, Apabila pihak tertentu (perorangan atau badan hukum) tidak mempunyai hak atas tanah, maka tanah tersebut dikatakan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Untuk memudahkan gambaran tentang negara yang dikuasai langsung oleh negara tersebut di bawah ini disebut sebagai tanah negara.
Terhadap tanah negara, tanah dapat diberikan hak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai tanah milik negara, dan hak pengelolaan.
Pemberian hak tersebut adalah kewenangan menteri yang dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.
Korupsi merupakan masalah terbesar bagi masyarakat Indonesia, sehingga pelaksanaan hak negara untuk mengelola tanah menimbulkan masalah.
Secara khusus, korupsi terhadap tanah negara dan masalah terkait tanah lainnya yang bahkan ada kaitannya dengan korupsi dan Bahkan ada tanda-tanda bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia ditangani di luar,-
kemampuan aparat penegak hukum.
1. Masalah pengelolaan dan penggunaan lahan muncul karena ketidakakuratan peta atau database Indonesia.
2. Masalah tata guna lahan negara bagian/daerah dalam pemanfaatannya juga bermasalah.
3. Masalah ini terjadi karena aset negara/daerah, khususnya inventarisasi tanah negara yang tidak akurat.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan, Kementerian Agraria, dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Brigjen Pol. Daniel Aditya beberapa waktu lalu mengungkapkan, para mafia tanah biasanya membeli tanah-tanah berperkara di pengadilan.
Mereka lalu memberi suap kepada aparat penegak hukum sehingga putusan berpihak kepada kelompok mafia tanah itu.
Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Mafia Tanah.
Berdasarkan Pasal 88 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) bahwa dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.
Permufakatan jahat juga diatur dalam Pasal 110 KUHPidana yaitu :
1. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasalpasal tersebut.
2. Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:
a. Berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
b. Berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk.
c. melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain; Memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan.
d. Mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan.
e. bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain.
Berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.
3. Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.
4. Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.
5. Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.
Istilah permufakatan jahat juga dapat dilihat di beberapa peraturan perundangundangan antara lain sebagai berikut :
a. Pasal 1 butir 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan: “Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang”.
b. Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi bahwa :
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
c. Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bunyinya adalah :
“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukantindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya”.
Permufakatan jahat juga dapat ditemukan pada Pasal 8 huruf O Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bunyinya :
“Melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n”.
d. Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris yaitu : “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4”.
Pengertian permufakatan jahat kemudian mengalami perluasan makna di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang terdapat pada Pasal 1 angka 18 yaitu :
* “Perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.”
* Pengertian permufakatan jahat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika belum memasukkan makna membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika, sehingga tindak pidana narkotika yang terjadi sebelum lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika cukup sulit untuk terungkap dan juga sulit untuk menjerat pelaku yang melakukan kejahatan narkotika secara terorganisasi, namun setelah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika lahir maka pelaku kejahatan narkotika yang terorganisir dapat dijerat bahkan kejahatan narkotika yang perbuatannya belum selesai pun sudah bisa dipidana dengan menerapkan Pasal 132 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang didalamnya terdapat unsur permufakatan jahat.
Tindak pidana korupsi hampir selalu dilakukan bersama-sama.
* Bentuk campur tangan beberapa orang secara bersama-sama ini termasuk ke dalam ajaran penyertaan dalam hukum pidana.
Ajaran penyertaan terbagi menjadi dua , yaitu :
1. Meliputi pelaku peserta dan
2. Pelaku yang melakukan pembantuan dalam tindak pidana.
Dalam konteks penyertaan dan pembantuan, memiliki tujuan sebagai ajaran yang memperluas norma serta kaidah yang terkandung dalam tindak pidana, baik subjek ataupun perbuatan. Pada KUHP, penyertaan dan pembantuan telah diatur pada Pasal 55 serta Pasal 56.
Bentuk-bentuk yang dimaksudkan pada pasal tersebut, yaitu:
a. Melakukan (pleger);
b. Menyuruh melakukan (doen pleger); c. Turut melakukan (medepleger);
d. Pembujukkan (uitlokker);
e. Membantu melakukan (medeplichtige) Dalam mayoritas kasus korupsi, tindak pidana ini dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga UU PTPK telah menyinggung delik penyertaan, lebih tepatnya pada pasal 5 UU PTPK.
Ketentuan mengenai Pasal 15 merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya,-
Terdakwa dikenai Pasal 55 KUHP berdasarkan beberapa kasus korupsi namun terdakwa tidak memiliki kualitas yang sama dengan pelaku lainnya.
Sehingga, terdapat kesalahan penerapan makna mengenai penerapan Pasal 55 KUHP yaitu :
* bentuk turut melakukan pada kasus tersebut.
Utrecht, dalam bukunya Hukum Pidana II, 1965 halaman 33-44 mengemukakan pendapat Simons yang mengharuskan bahwa pelaku turut serta,-
mempunyai kualitas yang sama dengan pelaku agar turut serta memenuhi syarat sebagai pembuat (dader) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, karena seseorang tidak dapat dipidana sebagai pelaku turut serta apabila ia tidak mempunyai kualitas yang sama dengan pelaku.
Mengingat dari sudut pertanggungjawaban pidana dalam penjatuhan pidananya juga mempertimbangkan kesalahan tiap-tiap pelaku.
Dalam penanganan perkara, banyak penegak hukum yang masih jarang menggunakan Pasal 15 UU PTPK pada surat dakwaannya.
Dalam hal ini terdapat kesalahan penerapan hakikat dari delik jabatan tersebut.
Bahwa regulasi UU PTPK telah mengerti bahwa hakikat dari lahirnya pasal ini juga diakibatkan dalam kasus korupsi akan banyak pelaku yang dilakukan oleh pihak swasta dan pihak pemerintah, karenanya dalam hal tersebut patut dikenakan bentuk pembantuan akibat dalam delik jabatan tidak terdapat penyertaan dengan kualitas pelaku yang berbeda.
Maka demikian, lahir unsur pembantuan dalam Pasal 15 UU PTPK. Bentuk pembantuan tersebut dikenakan khusus pada tindak pidana korupsi pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK.
* Sama halnya dengan perkara korupsi mafia tanah di NTT, baik Jaksa dan Hakim sependapat bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana ialah penyertaan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) KUHP.
* Pasal tersebut menekankan pada perbuatan pada pelaku yakni melakukan (pleger), Menyuruh melakukan (doen pleger), Turut melakukan (medepleger).
Dalam hal ini, meskipun perbuatan mafia tanah ada persokongkolan namun tidak diterapkan Pasal 15 UU Tipikor.
1. Hak menguasai negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai privaterechtelijk.
2. Pemilik (domein), yang bersifat Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
3. Modus yang dilakukan oleh mafia tanah secara umum membeli tanah-tanah berperkara di pengadilan dan memberi suap kepada aparat penegak hukum sehingga putusan berpihak kepada kelompok mafia tanah itu, proses pengadaan tanah secara fiktif dengan surat yang tidak jelas, dipalsukan, serta mengkoordinir proses administrasi pertanahan yang dibuat dengan cepat.
Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi mafia tanah ialah penyertaan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) KUHP yakni melakukan (pleger), Menyuruh melakukan (doen pleger), Turut melakukan (medepleger).
Referensi
Buku
1. Alting, Husen, 2010, Menggugat Eksistensi dan Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Era Otonomi Daerah, Lepkhair, Universitas Khairun Ternate Amiati, Mia, Perluasan Penyertaan dalam Tindak Pidana Korups Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003 (referensi 2013) Bagir Manan dalam H. Wira Franciska, Kepastian Hukum pemegang HGB di atas HPL dalam Perjanjian Penjaminan Kredit Perbankan. Alfabeta Eddy O.S Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka Manan, Bagir, 1999, Beberapa Catatan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Muhammad Arfah Pattenreng, Muhammad, 2009, Hukum Perumahan. Anugrah Mandiri, Makassar Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta Notonegoro. 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta:Bina Aksara
Peraturan Perundang-Undangan
2. Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Petunjuk Teknis Nomor :01/Juknis/D.VII/2018 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah
Jurnal
1. Azra, Azyumardi, Korupsi Dalam Perspektif Good Governance, Jurnal Kriminologi Indonesia, Universitas Indonesia, Volume2 Nomor 1 Januari 2002 Kusumadara, Afifah, Perkembangan Hak Negara atas Tanah: Hak Menguasai atau HakMemiliki.
2. Jurnal Media Hukum, Faculty of law Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 20 Nomor 2 Desember 2013. (Arthur Noija SH)

